Ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 19, Imam Nawawi Al-Bantani, dalam kitab tafsirnya, Marah Labid, menegaskan bahwa bahwa satu-satunya agama yang Allah ridhai adalah Islam, yaitu agama yang mengajarkan tauhid dan mengamalkan syariat yang mulia, yang menjadi pegangan para rasul. Siapa yang mengingkarinya, maka ia kufur.
Adapun terhadap kalimat “ghairal Islam” (selain Islam) dalam surat Ali Imran ayat 85, Imam Nawawi menegaskan kembali bahwa maksudnya adalah selain agama yang mengajarkan tauhid (Allah satu-satunya Tuhan) dan yang mengajarkan tunduk patuh kepada Ketentuan Allah.
Alasan mengapa penghujung ayat itu mengatakan orang-orang yang tidak menganut Islam akan merugi di akhirat, kata Imam Nawawi, adalah karena amalnya sia-sia, tidak mendapat pahala. Mereka kecewa karena menuruti ajaran agama yang salah, bahkan memperoleh siksa.
Atas semua hal itulah kemudian Allah menyatakan:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu” (QS. 5: 3).
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tanpa ragu menyatakan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam. Hanya Islam yang layak disebut sebagai sebenar-benarnya agama. Alasannya, karena hanya Islam satu-satunya agama Tanzil, agama yang diwahyukan, diturunkan langsung oleh Tuhannya.
Wahyunya murni, terjaga, tidak diotak-atik. Hanya Islam yang tidak direka-reka, dipikir-pikir, dan dibuat-buat oleh manusia. “There is only one genuine revealed religion, and its name is given as Islam,” tegasnya (Al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, 1995).
Buktinya, kata Ustadz Dr. Adian Husaini, tampak pada empat hal: 1) Namanya, Allah langsung yang namakan; 2) Ajarannya, Allah langsung yang tetapkan; 3) Nama “Allah” sebagai Tuhan, Allah langsung yang sebutkan; 4) dengan diutusnya Nabi Muhammad sebagai sosok teladan sempurna dan abadi sekaligus sosok yang menjaga wahyu-Nya sehingga tetap asli dan yang menyampaikannya sehingga tersebar luas (Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, 2016).
Jadi, Islamlah satu-satunya agama yang benar. Ialah Diinul Islam, agama yang sesungguhnya. Karenanya, kata Prof. Al-Attas, “the people who follow this religion are praised by God as the best among mankind.”
Maka, “Mengenai soal sikap kita terhadap agama,” tegas Prof. Al-Attas, “kita berpegang kepada pengertian… bahawa agama itu berasas pada Tanzil daripada Tuhan kepada insan yang dilangsungkan dengan perantaraan wahyu yang diturunkan olehNya kepada nabi atau RasulNya (Muhammad, sall’Llahu ‘alayhi wa sallam) bagi anutan segenap manusia… maka kita mengikrarkan bahawa agama Islam itu bukan teori, bukan hasil renung-renungan para bijaksana dan failasuf, bukan hasil renungan insan, bukan hasil ciptaan insan” (Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, 2001).
Salah jika ada yang mengatakan bahwa agama itu dapat dikelompokkan menjadi dua: agama samawi (langit) dan ardhi (bumi). Menurut Prof. Al-Attas, yang tepat adalah mengatakan bahwa kini, hanya ada dua jenis agama: agama yang benar, yakni agama wahyu, Islam dan agama yang salah, yakni agama budaya, selain Islam.
Kalaupun ingin tetap disebut sebagai agama samawi atau agama wahyu yang diturunkan oleh Tuhan, menurut Prof. HM. Rasjidi, tegaskanlah bahwa satu-satunya yang layak adalah agama yang dibawa Nabi Muhammad (Islam), agama terakhir yang mengoreksi sekaligus menyempurnakan agama-agama sebelumnya (HM. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 1977).
“Ketika seseorang menjadi Muslim, seyogianya dia mensyukuri nikmat Allah tersebut. Menjadi Muslim adalah sebuah kebanggaan karena telah memeluk satu-satunya agama wahyu: satu-satunya agama yang diturunkan Allah. Karena itu, seorang Muslim tidak patut ragu dan malu untuk menyerukan Islam kepada umat manusia,” ucap Ustadz Adian.
Mohammad Natsir, pada 1931, pernah menulis artikel yang melukiskan kekagumannya atas sosok Nabi Muhammad. Salah satu yang menurutnya sangat mengagumkan adalah beliau dalam mempertahankan kebenaran Islam dan memperjuangkannya.
Kata Pak Natsir, banyaknya musuh, besarnya tantangan, tidak sedikitpun membuat pendirian Nabi terguncang. Beliau terus memusnahkan yang batil dan mempertahankan yang haq. Prinsip Rasulullah: “Tak ada yang setengah-salah, tak ada pula yang separo-benar. Meskipun kebenaran pada sisi yang lemah, sekalipun kebatilan pada pihak yang gagah dan berkuasa.”
Lalu dengan gagahnya beliau tegaskan bahwa hanya Islam yang benar, yang lain salah, tidak Allah terima. “Tak ada separo-Islam yang ia benarkan, tak ada setengah batil yang ia akui,” ucap Pak Natsir. Beliau senantiasa “tetap dan tegap menyeru umat yang ia cintai, menunjukkan jalan shirathal-mustaqim.”
Dengan prinsip itu, dari sekian banyaknya pencapaian yang telah Sahabat dan umat beliau torehkan, Nabi tegaskan satu hal kepada mereka: jaga iman kalian baik-baik, jangan pernah, sampai kapan pun, terperdaya (H. Endang Saifuddin Anshari (Pen), Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, 1988).
Kini, kata Prof. Al-Attas, kita tengah menghadapi musuh besar yang menganggap kebenaran agama tidak penting; siapa Tuhan dan bagaimana beribadah kepada-Nya, tidak perlu diambil pusing; bahkan terang-terangan menyebut, orang yang mengatakan bahwa hanya agamanya yang benar adalah orang jahat, sombong, tidak toleran.
Padahal antara “meyakini hanya Islam yang benar” dengan “tidak toleran”, tidak ada hubungannya. Malahan telah terjadi berulang kali dalam sejarah Peradaban Islam, bagaimana keharmonisan, kedamaian dan ketenteraman dapat terjadi di tengah umat beragama yang masing-masing dari mereka menyatakan bahwa hanya agamanya yang benar.
Sejarah Peradaban Islam, khususnya ketika Rasulullah memimpin Madinah, menampilkan hal sebaliknya. Bahwa, Islam tidak pernah mengajarkan Pluralisme Agama tapi punya toleransi yang tinggi; Islam itu eksklusif tapi tidak pernah memaksa umat lain untuk masuk dan mengikutinya; Islam itu agama dakwah tapi wajib pakai adab dan hikmah (Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, 2012).
Karenanya, “Tidaklah benar bahwa untuk mewujudkan kedamaian antara kita dengan umat beragama lain, harus membuang keimanan kita jauh-jauh,” tegas Ustadz Adian.
Pak Rasjidi pun mengingatkan kepada kita semua bahwa sikap terbaik yang mesti dilakukan antara kita dengan umat beragama lain adalah menyadari benar-benar bahwa iman kita berbeda, lalu saling bersikap toleran secara sungguh-sungguh, baik dalam kata maupun tindakan (HM. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam, 1990).
Senada dengannya, bagi Ustadz Adian, “Hakikat saling menghormati antarpemeluk agama adalah mereka bisa bekerja sama satu sama lain dalam berbagai hal, tetapi bukan membiasakan dan bersikap ‘pura-pura’ dalam soal keimanan” (Adian Husaini, Kerukunan Beragama, 2015).
Begitulah toleransi yang benar, ketika “keimanan terjamin dan kerukunan terjalin,” ucapnya kembali.
Surat Al-Kafirun, kata Buya Hamka, “memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik.”
Bahkan dengan tegas, ia katakan, “Menyatakan semua agama sama, sama saja tidak beragam,” tegasnya (Hamka, Dari Hati ke Hati, 2002)
Ustadz Dr. Syamsuddin Arif sudah memberi peringatan keras bahwa, “Apabila orang Islam sudah mengakui dan meyakini bahwa agama-agama itu sama benar dan sama intinya, maka kemurtadan hanya tinggal selangkah.” (Syamsuddin Arif, Islam dan Diabolisme Intelektual, 2018)
Maka, agaknya, tak ada komitmen yang lebih baik ketimbang terus memandang dan meyakini bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar, sembari terus memperbaiki dan meningkatkan adab kita kepada sesama manusia.
Penting pula untuk mengingat selalu firman Allah: “Wa laatamuutunna illa wa antum Muslimuun,” janganlah mati kecuali dalam keadaan Muslim; dalam keadaan ketika pikiran dan hati kita tetap teguh memandang dan meyakini, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya agama yang Allah ridhai.
Fatih Madini

Komentar