Oase
Beranda » Menjadi Dai Sebelum Menjadi Yang Lainnya

Menjadi Dai Sebelum Menjadi Yang Lainnya

SAYA pernah bertemu dengan Ustadz Rahmat Abdullah di Mesjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sewaktu beliau masih hidup. Waktu itu selesai sholat berjamaah dan kami sama-sama baru selesai mengisi kajian di YISC Al Azhar, tetapi beda ruang kelas. Beliau saya jumpai sedang duduk santai bersandarkan tiang mesjid melepas lelah.

Setelah kami bersalaman, kami pun mengobrol sejenak. Di antara obrolan yang menarik adalah ketika beliau sambil tertawa mengatakan lebih enak jadi penceramah begini dibanding jadi anggota DPR (waktu itu beliau juga anggota DPR). “Jadi da’i itu kerjaan saya. Asyik jadi da’i itu serta bisa tampil apa adanya,” kata beliau. Terus ketika saya tanyakan, “Ustadz kesini gak sama sopir?” Beliau jawab, “Nggak….sendiri aja”.

Masya Allah….itulah jiwa keda’ian dan kesederhanaan Ustdaz Rahmat Abdullah almarhum. Beliau betul-betul mempraktekkan kaidah “Nahnu du’at qobla kulli syay’i” (kami adalah da’i sebelum menjadi yang lainnya). Yang mengenal beliau pasti mengetahui betapa beliau menghabiskan usianya di dalam dakwah. Persis seperti yang disebutkan Allah dalam surah Al Kahfi ayat 28 :

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.”

Sudah tak terhitung berapa banyak orang yang merasakan tangan dingin beliau dalam membina. Beliaulah sang murobbi sejati, yang lihai merekrut, memproses, dan merawat (ri’ayah) binaannya. Banyak orang yang berhutang budi kepada Ustadz Rahmat karena melalui perantaraan beliau maka hidayah Allah itu datang. Dan menjadikan mereka sebagai muslim yang istiqomah di jalan Allah.

Nahnu du’at qobla kulli syay’i di dalam diri Ustadz Rahmat almarhum membuat beliau tampil berdakwah apa adanya di manapun beliau berada dan apapun profesi beliau saat itu. Beliau tidak berpura-pura berlindung pada profesinya lalu melupakan jati dirinya sebagai da’i. Beliau bukan orang yang berdakwah hanya ketika pulang kerja saja. Tetapi di kantor asyik atau takut berdakwah, seperti yang saya lihat dalam diri sebagian kader dakwah saat ini.

Beliau juga menyempatkan diri di tengah-tengah kesibukannya untuk berdakwah secara “tradisional”, yaitu mengisi ceramah dan membina, seperti contoh yang saya saksikan saat itu yaitu mengisi kajian di YISC Al Azhar, yang saya tahu honornya tidak seberapa.

Di kesempatan lain saya juga pernah mengisi bareng dengan beliau di sebuah seminar kecil yang pesertanya mahasiswa dengan jumlah tak lebih dari 20 orang. Ini menunjukkan beliau siap berdakwah walau pesertanya sedikit sekali pun.

Almarhum Ustadz Rahmat Abdullah memang mencintai pekerjaannya sebagai da’i. Sebuah dunia yang sepi dari populeritas, uang dan jabatan, tapi riuh dengan ridho-Nya. Dunia dimana kita “menolong Allah, lalu Allah menolong kita dan meneguhkan kedudukan kita”. “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Al Qur’an, Surat Muhammad, Ayat 7)

Saya pernah mendengar beliau menceritakan pengalamannya tentang temannya yang tidak percaya kalau kita menolong Allah maka Allah akan menolong kita. Ustadz Rahmat dan temannya itu lalu “bertaruh” siapa yang lebih benar konsep hidupnya. Temannya itu lalu sibuk semenjak muda untuk berbisnis dengan niat nanti kalau sudah sukses dan kaya baru menolong agama Allah (berdakwah). Sedang Ustadz Rahmat sebaliknya, semenjak muda beliau sibuk menolong Allah (berdakwah) tanpa menunggu kaya terlebih dahulu.

Apa yang terjadi puluhan tahun kemudian? Ternyata temannya itu tetap miskin dan tetap tidak berdakwah. Sebaliknya Ustadz Rahmat, karena sibuk berdakwah, beliau sukses secara “duniawi”, mengelola yayasan, jadi anggota DPR dan tenar (mendapatkan harta, tahta dan populeritas).

Begitulah janji Allah, yang diyakini oleh Ustadz Rahmat, yang beliau alami sendiri, sehingga sampai akhir hayatnya beliau tetap istiqomah di jalan dakwah.

Dari beliau kita belajar tentang betapa mulianya hidup sebagai da’i dan betapa pentingnya memiliki jiwa “nahnu du’at qobla kulli syay’i” yang perlu terus tertapri di dalam jiwa murid-muridnya dan kita semuanya.

Keberkahan untuk beliau di kala hidup dan setelah beliau meninggal. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu.

Satria Hadi Lubis

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *