Miqdad bin Amr adalah Sahabat Nabi Muhammad ketujuh yang menyatakan keislamannya secara terbuka. Miqdad adalah seorang pejuang juga pemikir. Khalid Muhammad Khalid menggambarkan dua karakteristik Miqdad itu dalam bukunya, “Rijaal Haula Ar-Rasul” (1992):
“Ia adalah seorang filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafatnya tidak hanya terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh dan lurus, sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi penunjang bagi filsafat itu.”
Kalimat itu, setidaknya terealisasikan pada tiga hal yang pernah dialami oleh Miqdad. Dari ketiganya, ada pelajaran buat umat Islam bagaimana menjadi manusia baik.
Pertama, ketika kaum muslimin begitu pesimis menghadapi 1000 musuh dengan hanya 300 pasukan di perang pertama mereka, Perang Badar. Tampillah Miqdad, membangun mental pasukan.
Ketika Rasulullah tengah musyawarah dengan para sahabatnya yang kebanyakan sedang suram dan merasa putus asa soal banyaknya kuantitas musuh, Miqdad berkata kepada Nabi:
“Ya Rasulullah…. Teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda…! Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu disini, tetapi kami akan mengatakan kepada anda: ‘Pergilah anda bersama tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang disamping anda…! Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur disebelah kanan dan disebelah kiri anda, dibagian depan dan dibagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenangan…!”
Pembelajaran pertama dari Miqdad: Keteguhan Islam dan iman bukan penghambat perjuangan dan kemajuan, melainkan stimulus bagi tumbuhnya semangat juang, kerasnya usaha dan kuatnya mental.
Keduanya tak perlu diketepikan apalagi dibuang dengan dalil supaya “bisa maju” atau “bisa berpikir kritis”. Terlebih lagi, dengan keduanya, kamajuan yang dituju mempunyai arah yang jelas, berupa kejayaan di kahirat sekaligus rahmat bagi semesta.
“Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini,” tutur Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud.
Kedua, ketika ia pernah ditanya oleh nabi perihal jabatannya sebagai amir: “Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?” Dengan penuh kejujuran, dijawabnya:
“Demi yang telah mengututs anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya…!”
Jawaban indah ini, ia dapatkan berkat pemikirannya pada hadits yang selalu ia dengarkan: “orang yang berbahagia, ialah orang yang dijauhkan dari fitnah.” Jadi dengan meniggalkan jabatan politik yang penuh fitnah, ia yakin kebahagiaan hakiki dapat dirasakan.
Pembelajaran kedua dari Miqdad: Muslim sejati pasti memandang jabatan dan kekuasaan sebagai amanah besar dan penuh fitnah sehingga perlu dijauhi.
Sekalipun kondisi menuntutnya untuk meraihnya, setidaknya pandangan itu akan menjadi pemandu baginya supaya tidak semena-mena dengan kekuasaannya, sehingga zalim pada rakyatnya.
Ketiga, pernah ada beberapa laki-laki yang berbicara pada Miqdad, “Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah saw.! Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang anda lihat, dan menyaksikan apa yang anda saksikan…!”
Pernyataan tersebut dibalas oleh Miqdad dengan sangat indah:
“Apa yang membuat kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya? Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah saw. banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahannam! Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan nabi kalian”
Pembelajaran ketiga dari Miqdad: nikmat Islam dan iman harus dipandang sebagai nikmat terbesar sehingga selalu disyukuri. Puncak iman dan cinta kepada Nabi bukan berandai bisa hidup di masa beliau melainkan meniru dan mengamalkan segala hal yang dicontohkan, sebisanya.
Jadi, tak perlu banyak berandai-andai terlalu lama demi meraih kesempurnaan, cukup mengamalkan dan memperjuangkan Islam dengan serius dan konsisten. Bagaimanapun, harapan kita untuk tinggal dimasa Nabi tidak serta merta menjadikan kita sahabat setianya
Selain itu, kecintaan Miqdad terhadap agama Islam sangatlah besar. Ia tidak pernah puas hanya dengan mencintai tanpa menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawab untuk memperjuangkan Islam. Prinsipnya, “Biar saya mati, asal Islam tetap jaya.”
Kata Nabi Muhammad “Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa Ia mencintaimu.
Fatih Madini (Guru Pesantren At-Taqwa Depok)

Komentar