Awal Perjalanan, Menyadari Arah Hidup
Bayangkan hidup ini seperti perjalanan panjang. Kita semua sedang berjalan, entah kita sadari atau tidak. Ada yang berjalan cepat, ada yang lambat, ada yang tersesat.
Bagi seorang mukmin, perjalanan ini bukan sekadar mengisi waktu. Ada tujuan besar di ujungnya: bertemu Tuhan. Tetapi jalan ini tidak seperti pintu ajaib Doraemon yang langsung mengantar kita ke tujuan. Ada jalan panjang yang harus ditempuh. Ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan yang membuat kita tergelincir jika tidak hati-hati, dan ada rintangan yang harus dihadapi.
Para sufi berkata, “Kami sudah melalui jalan ini. Inilah peta perjalananmu.” Peta itu disebut maqāmāt, stasiun-stasiun yang harus dilalui oleh setiap sālik-orang yang sungguh-sungguh ingin mendekat kepada Tuhan.
Bayangkan kamu akan naik gunung yang belum pernah kamu daki sebelumnya. Kamu pasti ingin tahu jalannya, titik istirahatnya, bahkan di mana ada sungai atau jurang berbahaya.
Maka, para ulama memikirkan, merenung, dan juga menapaki setiap jalan itu dan menuliskan dalam karya-karya monumental mereka supaya generasi setelah mereka tidak terjatuh dalam lubang-lubang yang menghambat perjalanan menuju Tuhan.
Kesadaran: Langkah Pertama yang Menentukan
Setiap perjalanan dimulai dengan satu langkah. Abdullah al-Anshari al-Harawi, seorang sufi dari Herat, dalam kitab Manâzil al-Sa’irîn, menyebut langkah pertama itu sebagai kesadaran (yaqzhah), yaitu, keadaan ketika hati terbangun.
Coba bayangkan saat kamu tertidur lelap, lalu tiba-tiba mendengar suara yang membuatmu terbangun. Kesadaran itu seperti alarm yang membangunkan hati.
Tilimsani, seorang komentator karya al-Anshari, berkata: “Kesadaran adalah pintu semua kebaikan.” Kalau kita tidak sadar, kita akan terus melakukan hal yang sama setiap hari, bahkan yang salah sekalipun, tanpa pernah merasa perlu berubah.
Kesadaran ini bisa datang dengan berbagai cara. Ada yang tersentuh oleh musibah, ada yang tergerak oleh nasihat, ada yang bangun karena mendengar ayat Al-Qur’an. Yang penting, saat momen itu datang, kita jangan mengabaikannya.
Fudhail bin ‘Iyadh, dulu, ia perampok yang ditakuti. Suatu malam, ketika ia bersembunyi di atap rumah orang yang hendak ia rampok, ia mendengar seseorang membaca ayat: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah…”(QS. al-Hadid: 16). Ayat itu seperti anak panah yang menembus hatinya. Ia menangis dan berkata: “Ya Allah, sekaranglah waktunya!”
Malam itu ia bertaubat, meninggalkan pekerjaannya sebagai perampok, lalu berubah menjadi seorang sufi besar yang namanya dikenang sampai hari ini.
Ibrahim bin Adham, seorang raja, hidupnya penuh kemewahan. Suatu malam, ia mendengar suara dari atap istananya: “Ibrahim! Kamu mengira kamu diciptakan untuk bermain-main?” Ia gemetar. Pagi harinya ia meninggalkan istananya, melepaskan mahkota dan singgasananya, lalu hidup sebagai seorang sufi yang mengajarkan zuhud dan ketenangan hati.
Dua kisah ini mengajarkan satu hal: kesadaran bisa datang tiba-tiba, kapan saja, dan bisa mengubah seluruh arah hidup.
Kesadaran tidak cukup hanya datang sekali. Ia harus dirawat setiap hari. Jika tidak, hati bisa “tidur” lagi. Ada beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan:
1. Muhasabah sebelum tidur. Luangkan 5-10 menit sebelum tidur untuk memikirkan: hari ini sudah melakukan apa? Adakah yang salah? Apa yang harus diperbaiki besok?
2. Niatkan aktivitas sebagai ibadah. Makan, bekerja, belajar, niatkan semua untuk mencari ridha Allah. Ini membuat kita tidak hidup sia-sia.
3. Perbaiki kesalahan segera. Jangan tunggu besok untuk bertaubat. Semakin cepat kita kembali, semakin ringan hati kita.
4. Kurangi yang sia-sia, batasi hal yang membuat kita lupa tujuan, seperti hiburan berlebihan atau gosip.
5. Perbanyak dzikir. Ingatlah Allah di sela-sela aktivitas. Hati yang sering berdzikir akan tetap terjaga.
6. Peduli pada orang lain. Kesadaran juga membuat kita peka terhadap penderitaan sesama. Kebiasaan ini membuat kita tetap “terjaga” di sepanjang perjalanan hidup.
Perjalanan menuju Tuhan adalah perjalanan yang panjang, tapi indah. Ia dimulai dengan satu momen: hati yang sadar.
Kisah Fudhail bin ‘Iyadh dan Ibrahim bin Adham menjadi bukti: siapa pun bisa berubah jika hatinya tersentuh. Dan kesadaran itu tidak hanya untuk orang-orang yang sudah saleh. Kesadaran adalah hadiah bagi siapa saja yang mau mendengarkan panggilan hatinya.
Yang penting, saat kesadaran datang, jangan ditunda. Ambil langkah kecil. Karena satu langkah hari ini akan mengubah arah hidup kita besok.
Muhammad Muslihin, Pengurus ICMI Muda Jakarta

Komentar