Hadirnya semacam “Gerakan Ayah Mengantar Anak Sekolah” tentu saya setuju saja. Seperti yang dicanangkan oleh Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Republik Indonesia (Kemendukbangga/BKKBN) baru-baru ini. Aturan tersebut ditetapkan di Jakarta pada 10 Juli 2025 dalam Surat Edaran (Kemendukbangga/BKKBN) Nomor 7 Tahun 2025 Tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.
Latar belakang gerakan ini untuk mendorong pengasuhan anak yang lebih efektif. Seperti diketahui, pengasuhan anak yang efektif membutuhkan keterlibatan aktif kedua orang tua. Namun, banyak anak di Indonesia yang justru tumbuh tanpa kehadiran ayah (fatherless). Dengan 20,9% anak tidak memiliki figur ayah menurut data UNICEF 2021 dan hanya 37,17% anak usia 0-5 tahun yang diasuh oleh kedua orang tua menurut BPS 2021.
Untuk itu, menurut Kemendukbangga/BKKBN, gerakan ini untuk mendorong penguatan peran ayah, terkhusus dalam pengasuhan agar tumbuh kembang anak maksimal melalui Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang telah digelorakan sebelumnya untuk menuju Indonesia Emas.
Selain itu, dalam perspektif pengasuhan, gerakan ini juga menjadi simbol perubahan budaya pengasuhan di Indonesia. Dari yang semula berpusat pada peran ibu menjadi lebih kolaboratif dan setara. Sejalan dengan mandat Kemendukbangga/BKKBN untuk membangun keluarga berkualitas dan generasi emas, keterlibatan ayah dalam pendidikan anak untuk memenuhi kebutuhan emosional dan juga investasi sosial jangka panjang.
Sekali lagi saya setuju saja gerakan ini, bahkan bukan hanya di hari pertama sekolah, tapi setiap hari. Mungkin, karena kendala pekerjaan, banyak yang tidak memungkinkan hal itu dilaksanakan. Kabar baiknya, saya pribadi alhamdulillah bisa. Kenapa? Ya karena memilih bekerja mandiri, mengelola bisnis dan perusahaan sendiri sehingga bisa alokasikan waktu untuk antar jemput anak sekolah.
Memangnya, kenapa harus antar jemput anak sekolah sendiri? Jawabannya banyak. Tapi, satu diantaranya adalah kita bisa melakukan apa yang disebut dengan “Dialog Iman”. Percakapan-percakapan orang tua, terutama ayah dan anaknya lewat dialog-dialog (percakapan) sederhana menumbuhkan benih-benih keimanan sejak dini.
Menghadirkan Al-Quran dan kisah-kisah kenabian, dihadapkan pada aktivitas keseharian. Sehingga, semuanya itu tak hanya sebatas pemahaman, tapi bisa terimplementasikan dalam kehidupan keseharian.
Saat berjalan kaki berangkat dan pulang sekolah, saat berdua dalam motor, juga saat bersama dalam mobil. Atau mampir sejenak ke suatu tempat setelah pulang sekolah sebelum ke rumah. Di situlah momen-momen kebersamaan itu ada. Tak semua bisa menghadirkannya. Tak semua pula bisa menghadirkan momen-momen sederhana dengan dialog-dialog iman.
Sebuah momen yang benar-benar diperlukan agar iman menancap di hati anak sejak dini. Sebagaimana digambarkan dalam sebuah ayat:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik (iman) seperti pohon yang baik, akarnya menancap kuat (ke dalam tanah) dan tangkainya (menjulang) ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap saat dengan izin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Q.S. Ibrahim: 24-25).
Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok.

Komentar