Makna adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut sesuatu yang tersembunyi di balik hal-hal yang tampak. Ia bukan bentuk, bukan rupa, melainkan sesuatu yang hadir di balik keduanya. Karena itu, makna bersifat abstrak—tidak bisa disentuh oleh tangan, tapi bisa dirasakan oleh hati dan ditangkap oleh akal yang merenung.
Ketika seseorang menyaksikan sebuah peristiwa, akalnya akan bertanya, “apa makna di balik semua ini?” Pertanyaan itu menunjukkan bahwa manusia tidak puas hanya dengan melihat sesuatu sebagaimana adanya; ia ingin menembus lapisan yang lebih dalam dari realitas.
Makna tidak datang dengan sendirinya. Ia ditemukan melalui proses berpikir dan perenungan yang jujur. Saat seseorang merenung, sebenarnya ia sedang melakukan perjalanan batin untuk mencari makna di balik sesuatu. Dari sini muncul pertanyaan yang lebih besar: apa makna dari kehidupan itu sendiri?
Menurut saya, makna kehidupan adalah tentang pencarian.
Setiap hari manusia hidup untuk mencari sesuatu—pekerjaan, ilmu, pengakuan, tujuan, atau bahkan makna itu sendiri. Dalam diri manusia, selalu ada ruang kosong yang menuntut untuk diisi. Jika ruang itu tidak terisi oleh sesuatu yang benar, maka hidup akan terasa hampa. Kehampaan itu bukan karena kekurangan harta, melainkan karena kehilangan arah pencarian.
Dalam tradisi keislaman, kemuliaan sesuatu diukur dari apa yang dituju atau dicari. Jika yang dicari adalah hal mulia, maka proses mencarinya pun menjadi mulia. Karena itu, mencari ilmu tentang ketuhanan lebih tinggi nilainya daripada mencari hal-hal duniawi yang fana. Keutamaan bukan terletak pada hasilnya, tetapi pada orientasi dan niat di balik usaha itu.
Islam mengajarkan bahwa setiap perbuatan akan memiliki makna bila dihubungkan dengan tujuan yang benar. Mencari nafkah, misalnya, bila diniatkan untuk menjalankan perintah Allah dan menafkahi keluarga dengan tanggung jawab, maka seluruh proses itu menjadi ibadah. Tetapi bila dilakukan tanpa arah spiritual, ia hanya menjadi rutinitas tanpa jiwa.
Rasulullah saw. pernah bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermakna.”
Hadis ini mengajarkan bahwa kualitas hidup seseorang sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menyingkirkan hal-hal yang tidak bermakna. Hidup yang bermakna bukanlah hidup yang penuh kesenangan, melainkan hidup yang setiap langkahnya disertai kesadaran akan arah dan tujuan.
Maka, makna kehidupan tidak terletak pada banyaknya yang kita miliki, melainkan pada bagaimana kita memaknai setiap yang kita jalani. Saat seseorang memahami makna dari pekerjaannya, keluarganya, bahkan penderitaannya, maka ia akan menemukan kedamaian yang tidak bisa diberikan oleh dunia luar.
Hidup adalah perjalanan mencari makna.
Dan selama kita masih mau mencari—selama hati masih bertanya dan akal masih merenung—selama itu pula kehidupan memiliki arti.
Muhammad Muslihin (Anggota Pendidikan dan Dakwah ICMI Muda Jakarta)

Komentar