Indonesia bagiku seperti pohon tua di halaman rumah: akarnya dalam, batangnya kokoh, tapi daunnya mulai layu dimakan waktu. Aku tumbuh di bawah rindangnya, berlindung dari panas dan hujan, mendengar bisik angin yang membawa cerita nenek moyang.
Aku mencintainya bukan karena ia sempurna, tapi karena di setiap retak kulit batangnya, aku melihat sejarah yang tak tergantikan. Namun, akhir-akhir ini aku sering menatapnya dengan hati yang berat. Daun-daun gugur terlalu cepat, rantingnya patah oleh tangan-tangan yang tak peduli.
Aku kecewa — bukan karena ia lemah, tapi karena banyak yang lupa merawatnya.
Meski begitu, aku tak sanggup meninggalkannya. Aku ingin menyiraminya lagi, membersihkan tanah di sekitarnya, dan menanam benih-benih harapan. Karena aku tahu, jika pohon ini mati, kita semua akan kehilangan rumah. Dan aku… aku tak mau kehilangan rumahku.
Apakah kita hanya akan duduk di sudut, menangisi nasib negeri ini?
Apakah kita hanya akan mengulang kritik demi kritik, sementara tanah air terus digerogoti oleh keputusan yang lahir dari nafsu pribadi, bukan dari nurani? Tidak.
Kita bukan pewaris yang hanya pandai mengeluh. Kita adalah pemikul masa depan bangsa — dan masa depan itu tidak akan berubah jika tangan kita hanya menunjuk, bukan bekerja.
Sekecil apa pun kontribusi yang kita berikan, ia adalah riak yang akan menjalar menjadi gelombang. Satu langkah kecil bisa membangunkan kesadaran, satu tindakan tulus bisa menyalakan api di hati orang lain. Indonesia tidak hanya butuh suara yang lantang, ia butuh tangan yang mau kotor, kaki yang mau melangkah, dan hati yang mau setia.
Karena cinta pada negeri ini bukan diukur dari seberapa keras kita marah, tapi dari seberapa jauh kita mau berbuat. Dan jika kita semua bergerak — walau dari jarak yang jauh — maka tak ada kekuatan yang mampu menghentikan kebangkitan Indonesia.
Sebagai mahasiswa yang kini berada jauh di benua Oceania, aku hanya bisa menyaksikan denyut nadi Indonesia dari layar dan berita. Namun jarak tidak pernah memadamkan api di dadaku. Aku ingin berdiri sejajar dengan teman-teman di tanah air — mereka yang berjuang memastikan suara rakyat tak lagi tenggelam di antara hiruk-pikuk kepentingan pribadi.
Kita tidak boleh hanya menjadi penonton yang mengeluh. Kita adalah generasi yang memikul masa depan bangsa. Menjadi kuat bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban. Dan bagiku, membangkitkan ekonomi rakyat miskin adalah panggilan suci.
Mereka berhak merasakan kesetaraan, berhak menikmati hasil kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada Maret 2025, tingkat kemiskinan Indonesia turun menjadi 8,47% atau sekitar 23,85 juta jiwa — terendah dalam dua dekade. Namun, di balik angka itu, kesenjangan masih menganga: kemiskinan di desa mencapai 11,03%, jauh di atas kota yang hanya 6,73%. Di Papua Pegunungan, kemiskinan masih menyentuh 30,03%, sementara Bali mencatat yang terendah dengan 3,72%. Angka-angka ini adalah pengingat bahwa perjuangan belum selesai.
Kita, generasi muda, adalah bonus demografi yang akan menentukan wajah Indonesia di tahun 2045 — saat negeri ini genap berusia 100 tahun. Dengan hampir 70 juta pemuda berusia 16–30 tahun, kita adalah ujung tombak perubahan. Kita harus menjadi Agen Perubahan yang berani mengguncang status quo, Agen Pembangunan yang melahirkan inovasi, dan Agen Pemersatu yang menjaga keberagaman sebagai kekuatan, bukan perpecahan.
Menjadi pelopor berarti berani memulai, meski sendirian. Berani memikul tanggung jawab, meski berat. Berani melangkah, meski jalan terjal. Karena masa depan Indonesia tidak akan dibangun oleh mereka yang hanya mengkritik dari jauh, tetapi oleh mereka yang mengulurkan tangan, menggerakkan hati, dan menyalakan harapan.
Kita adalah generasi yang akan menulis bab baru sejarah Indonesia — bukan dengan tinta keluhan, tetapi dengan karya, keberanian, dan pengorbanan. Dan ketika kelak anak cucu kita membaca halaman itu, mereka akan tahu: di sinilah titik awal kebangkitan Indonesia yang sesungguhnya.
Bagiku, jika kita benar-benar ingin membantu, langkah pertama adalah menanamkan keyakinan di dalam diri bahwa kita lebih besar dari sekadar batas-batas negara kita. Lebih besar dari tanah tempat kita berpijak, bahkan lebih besar dari medan perjuangan yang kita hadapi. Karena jiwa yang besar tidak dibatasi oleh garis di peta — ia bergerak melampaui sekat, demi cita-cita yang lebih luhur.
Aku percaya, sebesar apa pun badai yang menanti di masa depan, seberat apa pun jalan yang harus dilalui, pertolongan Allah SWT akan selalu menyertai mereka yang berjuang dengan hati yang tulus. Keyakinan itu adalah bahan bakar yang membuat kita terus melangkah, meski kaki gemetar dan pundak terasa runtuh.
Kita bukan sekadar bagian dari bangsa ini — kita adalah penggeraknya. Dan penggerak sejati tidak menunggu keadaan membaik; merekalah yang menciptakan perubahan itu.
Dengan tekad yang membara, kita akan menulis sejarah, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku yang mengubah arah masa depan Indonesia.
Bagiku, jika kita benar-benar ingin membantu, langkah pertama adalah menanamkan keyakinan di dalam diri bahwa kita lebih besar dari sekadar batas-batas negara kita. Lebih besar dari tanah tempat kita berpijak, bahkan lebih besar dari medan perjuangan yang kita hadapi. Karena jiwa yang besar tidak dibatasi oleh garis di peta — ia bergerak melampaui sekat, demi cita-cita yang lebih luhur.
Aku percaya, sebesar apa pun badai yang menanti di masa depan, seberat apa pun jalan yang harus dilalui, pertolongan Allah SWT akan selalu menyertai mereka yang berjuang dengan hati yang tulus.
Keyakinan itu adalah bahan bakar yang membuat kita terus melangkah, meski kaki gemetar dan pundak terasa runtuh.
Kita bukan sekadar bagian dari bangsa ini — kita adalah penggeraknya. Dan penggerak sejati tidak menunggu keadaan membaik; merekalah yang menciptakan perubahan itu.
Dengan tekad yang membara, kita akan menulis sejarah, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku yang mengubah arah masa depan Indonesia.
Perjuangan ini bukan sekadar tentang hari ini, tetapi tentang warisan yang akan kita tinggalkan untuk generasi setelah kita. Kita mungkin terpisah jarak, bahkan benua, namun hati kita tetap berpaut pada tanah air. Kita adalah generasi yang diberi kesempatan untuk mengubah arah sejarah — dan kesempatan itu tidak datang dua kali.
Kita harus berpikir lebih besar dari sekadar batas negara, lebih besar dari medan perjuangan yang kita hadapi. Karena bangsa yang besar lahir dari jiwa-jiwa yang berani bermimpi setinggi langit, namun tetap menjejak bumi untuk bekerja tanpa henti.
Sebesar apa pun badai yang menanti, kita percaya bahwa pertolongan Allah SWT akan selalu bersama mereka yang berjuang dengan niat yang tulus. Maka, mari kita melangkah dengan tekad yang tak tergoyahkan, menyalakan obor perubahan, dan memastikan cahaya itu tak pernah padam.
Indonesia adalah amanah. Dan kita, generasi pelopor, adalah penjaganya.
Adam Malik Suwarna @Melbourne 2025

Komentar